Jumat, 04 Mei 2018

Biografi Mohammad Hatta


Beberapa hari ini bingung antara memilih sejarah atau novel yang difilmkan, dan akhirnya akibat terlalu lama memikirkan, mepet deadline lagi mepet deadline lagi. Sudah kebiasaan sepertinya. Sampai akhirnya aku memilih menulis tentang buku sejarah saja.

Jujur, aku adalah orang yang tidak terlalu suka sejarah. Karena apa? Entahlah, setiap membaca buku sejarah, kantuk selalu menyerang.
Untuk menyelesaikan buku ini saja sangat berat rasanya, beberapa kali tertidur, tapi akhirnya bangun lagi, kaget gara-gara teringar buku bacaan belum selesai.

Membaca sejarah menurutku penting, sangat penting malah. Banyak ilmu-ilmu yang dapat diperoleh dari sana, banyak pengalaman hidup yang luar biasa dan hal mengagumkan lainnya. Tapi, entahlah. Seperti yang kukatakan tadi, setiap membaca buku sejarah, aku terlalu tertidur. Entah, buku sejarah apapun itu, sama saja.

Sudahlah, daripada mendengarkan curhat yang tidak berfaedah ini, lebih baik kita ke jati diri tulisan ini yang sejujurnya.

Buku yang saya pilih sebenarnya buku Biografi bapak Mohammad Hatta yang berjudul " HATTA Jejak Yang Melampau Zaman".

Ia lahir pada 12 Agustus 1902 di Desa Aur Tajungkang, Bukittinggi, dari pasangan Mohammad Djamil dan Saleha Djamil. Orang-orang tua di Bukittinggi menyebutnya ‘anak cie pamaenan mato’–anak yang pada dirinya terpendam kebaikan dan perangainya mengundang rasa sayang.

Dialah Mohammad Hatta. Lelaki dengan senyum ikhlas, wajah teduh, rambut dan pakaian rapi, serta pribadi yang kalem, praktis, dan taat beragama. Bung Hatta adalah sosok bersahaja, tenang, dan penuh wibawa. Hatta adalah negarawan yang langka, sebab ia menulis. Hatta mulai menulis saat umurnya 18 tahun, sebelum masuk universitas. Tulisannya menunjukkan luasnya bacaan dan minatnya pada sastra Ia menguasai sekurangnya bahasa Melayu, Belanda, Inggris, Jerman, serta Prancis. Saat dibuang ke Tanah Merah, Boven Digul, ia membawa 16 peti buku.

Seri kali ini mengangkat kisah Mohammad Hatta, mantan wakil presiden Republik Indonesia. Buku ini terbagi menjadi enam bagian. Dibuka oleh surat dari Goenawan Muhammad kepada Bung Hatta. Selanjutnya menampilkan kisah-kisah yang ditulis berdasarkan hasil penelusuran para wartawan Tempo. Beberapa diceritakan dari sudut pandang orang-orang yang dekat dengan Hatta, orang-orang yang pernah ‘bersentuhan’ langsung dengan beliau, serta dari investigasi ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi sang Bapak Koperasi kita.
Saya suka sekali dengan gaya penuturan Tempo. Detil dan membuat emosional. Banyak hal yang saya pelajari dari membaca penggalan-penggalan kisah. Menyenangkan sekali ‘belajar sejarah’ dengan cara seperti ini. Membaca kolom-kolom, melihat galeri foto-foto yang dipajang, membuat saya seolah hadir di tempat serta kejadian yang disebutkan. Ada kisah kedekatan Bung Hatta dengan Bung Karno. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat Sukarno hingga akhir hayat Sukarno. Ada juga kisah Hatta dengan keluarga, sahabat, anak-anak angkat, galeri foto, serta cerita saat Hatta harus dibuang di Digul dan Bandaneira.

Nama Bung Hatta juga diabadikan sebagai nama jalan di Belanda. Mohammed Hattastraat. Prosedur penetapan nama jalan melibatkan sejumlah instansi seperti pos, bagian arsip, bagian perawatan monumen, serta komisi pengembangan dan pembaruan kota. Nama Hatta dipilih karena tokoh ini dianggap pemimpin pergerakan di Indonesia, negarawan, dan wakil presiden yang sempat ditahan Belanda lantaran aktivitas politiknya.
“Mereka adalah orang yang berjasa, berjuang demi pembebasan atau kemerdekaan negaranya,serta memiliki reputasi yang baik.”
Bagaimana sosok Hatta di mata kawannya yang lain? Di mata Sukarno, Hatta adalah sosok yang serius. Ia tak pernah menari, tertawa, atau menikmati hidup. Pun ketika ia muda. Jejak Hatta adalah orang yang memerah mukanya bila bertemu dengan seorang gadis.
Hatta memang bukan Sukarno. Hatta praktis tak pernah berbicara tentang dirinya secara pribadi. Ia terlalu rasional untuk mengungkapkan perasaannya secara terbuka.

#TugasRCO3 #Tugas1Level3 #OneDayOnePost

1 komentar: